Kritik Puisi tentang para Ulama dengan judul "Ulama Abiyasa Tak Pernah Minta Jatah"
Untuk kali ini kita akan membicarakan tentang sebuah puisi yang ditulis oleh M. Shoim Anwar. Puisi tersebut memakai judul “Ulama Abiyasa Tak Pernah Minta Jatah” dalam puisi tersebut kita akan mengupas sedikit kritik tentang bentuk puisi dengan baik dan tidak lupa menyangkutpautkan dengan kehidupan saat ini. Sebelum mengupas tuntas makna dalam setiap bait puisi tersebut, puisi ini terdiri dari tiga bait yang membahas tentang sebuah ulama yang tidak pernah meminta jatah. Agar tidak membuat penasaran, yuk langsung kita kupas setiap baitnya.
Bait pertama:
Ulama
Abiyasa adalah guru yang mulia
Panutan
para kawula dari awal kisah
Ia
adalah cagak yang tegak
Tak
pernah silau oleh gebyar dunia
Tak
pernah ngiler oleh umpan penguasa
Tak
pernah ngesot ke istana untuk meminta jatah
Tak
pernah getar oleh gertak sejuta tombak
Tak
pernah terpana oleh singgasana raja-raja
Dapat diartikan bahwa
bait pertama sering kali dihubungkan dengan berbagai hal, dalam bait pertama ini menceritakan bahwa seseorang
ulama memiliki sifat yang berpegang teguh
pada prinsipnya dan memiliki idealisme. Seorang ulama yang tidak pernah silau
dengan kehidupan dalam duina ini. Tidak pernah menyentuh umpan dari penguasa, tidak pernah meminta
sedikitpun pada penguasa dunia. Ulama tersebut tetap berpegang teguh meskipun
diancam dengan senjata dan bertanggung jawab yang sudah diperoleh.
Bait kedua:
Ulama
abiyasa menrengkuh teguh hati dan lidah
Marwah
digenggam hingga ke dada
Tuturrnya
indah menyemaikan aroma bunga
Senyumnya
merasuk hingga ke sukma
Langkahnya
menjadi panutan bijaksana
Kehormatan
ditegakkan tanoa sebiji senjata
Berdasarkan bait kedua di atas , menceritakan tentang
sikap seorang ulama yang bernama Abiyasa. Beliau memiliki sikap yang teguh dalam hati dan
ucapannya. Beliau bertutur kata lemah lembut dan sehingga banyak orang yang menyukai dan
mengikuti langkahnya dalam sebuah dakwa. Beliau juga menunjukkan dakwanya tanpa
menyangkutpautkan dengan kekerasan dan selalu menentramkan hati.
Bait ketiga:
Ulama
Abiyasa bertitah
Para
raja dan penguasa bertekuk hormat padanya
Tak
ada yang berani datang minta dukungan jadi penguasa
Menjadikannya
sebagai pengumpul suara
Atau
didudukkan di kursi untuk dipajang di
depan massa
Diberi
pakaian dan penutup kepala berharga murah
Agar
tampak sebagai barisan ulama
Ulama
Abiyasa tak membutuhkan itu semua
Datanglah
jika ingin menghaturkan sembah
Semua
diterima dengan senyum mempesona
Jangan
minta diplintirkan ayat-ayat asal kena
Sebab
ia kurus apa adanya
Mintalah
arah dan jalan sebagai amanah
Bukan
untuk ditembangkan sebagai bunga kata-kata
Tapi
dilaksanakan sepenuh langkah
Penghujung
Desember 2020
Pada bait ketiga ini menceritakan tentang jalan hidup seorang ulama yang memilih kehidupan sederhana dan berpegang teguh. Dengan beberapa sikap seorang ulama, beliau memiliki prinsip yang ditakuti dan disegani para raja dan penguasa. Dari sikap tegas dalam prinsipnya ini menjadikan kehidupan gemerlap dalam dunia ini tidak bisa membuatnya terpincut untuk mendapatkan kekuasaan dalam pemerintahan. Beliau lebih suka kehidupan yang sederhana dibandingkan dengan memakai pakaian yang mewah.
Dalam uraian di atas adalah hakikat dari seorang ulama. Ulama yang bersikap baik, bertanggung jawab dan berpegang teguh atas semua gelar yang sudah diperolehya. Dalam puisi tersebut memiliki makna bahwa bagaimana seorang ulama mampu berpegang teguh dalam perinsipnya dan berdiri sendiri dalam kedaulatan dunia ini.
Sedangkan jika
dihubungkan dengan kehidupan sekarang dapat kita lihat kebanyakan ulama
memiliki sikap pro dengan seorang penguasa. Kebanyakan para ulama memperebutkan
sebuah bagian penting dalam kekuasaan. Tidak hanya memperebutkkan kekuasaan
tetapi juga mengorbankan harga dirinya dalam ilmu yang sudah diperolehnya.
Komentar
Posting Komentar