Relativisme Kebenaran Dalam Lima Cerpen

Kali ini kita akan membahas tentang sebua karya dari Shoim Anwar. Shoim Anwar merupakan cerpenis sekaligus dosen di salah satu Universitas yang ada di Surabaya, cerpen-cerpen beliau sudah mencakup skala nasional. Cerpen beliau masih relevan dengan persoalan yang terjadi pada saat ini, dengan tinjauan dari berbagai aspek seperti sosiologi, psikologi, ekonomi, budaya, dan lain-lain. dengan demikian, ada lima cerpen yang akan kita bahas dengan teori relativisme kebenaran yang di kemukakan oleh Sokrates (Shomali, 2011: 63) yang berbunyi, “Oleh sebab itu, karena setiap presepsi secara khusus dengan keberadaanku, maka presepsiku adalah benar bagiku dan, seperti kata Protagoras, aku adalah hakim segala sesuatu yang memang milikku yang ada sebagaimana adanya.” Dikutip dari buku Relativisme Etika karya A. 

Shomali, dengan pernyataan tersebut sudah dijelaskan bahwa kebenaran tidak ada yang mutlak, dengan memertimbangkan presepsi dari orang lain dengan presepsi kita jelas memiliki perbedaan yang mendasar. Dengan begitu, pembahasan kali ini yakni mengkaji cerpen Shoim Anwar yang berjudul; “Tahi Lalat”, “Sorot Mata Syaila”, Bambi Dan Perempuan Berselendang Baby Blue”, “Sepatu Jinjit Aryanti”, “Jangan Ke Istana, Anakku.” Sehingga akan memunculkan sintesis baru yang nantinya bisa menjadi refrensi bagi pembaca.

Dalam cerpen yang berjudul “Tahi Lalat’ kita akan diusingkan oleh berbagai isu yang belum jelas arahnya, dengan fokus relativisme kebenaran akan mengkaji beberapa kutipan yang menjadi poin utama dalam cerpen tersebut. Sebagai berikut:

Awas, ini rahasia. Jangan bilang siapa-siapa!” kata Bakrul memulai pembicaraan sambil mendekatkan telunjuknya ke mulut.

“Di sebelah mana?” aku mengorek.

“Di sebelah kiri, agak ke samping,” jawab Bakrul.

“Besar?”

“Katanya sebesar biji randu.”

Mungkin karena keberadaannya sudah lebih jelas, akhirnya orang-orang saling memberi kode ketika berpapasan. Bila mereka sedang bergerombol, dan salah satu sudah memberi kode, yang lain mengacungkan jempolnya sebagai tanda mengerti. Bagi yang kurang yakin, pertanyaan akan langsung diteriakkan saat aku lewat.

Pada kutipan diatas diilustrasikan bahwa rasa penasaran pada tokoh Aku memengaruhi kebenaran yang ada, dan juga kalimat “Katanya sebesar biji randu” memiliki kerancuan dalam berbagai prespektif. Dengan kata lain kebenaran tersebut masih dipertanyakan, sehingga tokoh aku masih penasaran akan keberadaan tahi lalat tersebut. Ketika ditinjau dari relativisme kebenaran, maka kebenaran tidak ada yang mutlak dan simpang siur dengan keberadaan tahi lalat tersebut tidak bisa dibuktikan secara empiris, karena prespektif setiap orang akan memengaruhi kebenaran yang ada. 

Dalam cerpen yang lain juga terjadi permasalahan yang serupa, tetapi dengan latar yang berbeda, sebagaimana mestinya suatu individu juga memiliki kebenarannya masing-masing. Cerpen yang berjudul “Sorot Mata Syaila” merupakan cerpen yang berlatarkan di Abu Dhabi, tetapi ada konflik yang timbul secara implisit dari tokoh utama yang diilustrasikan dalam kutipan sebagai berikut:

Sekarang aku berpikir persoalanku sendiri. Aku berharap penerbanganku terlambat, bila perlu ditunda dalam waktu yang panjang. Alasan melaksanakan ibadah ke Tanah Suci dan ziarah ke makam nabi-nabi sudah kulalui. Semua itu aku lakukan untuk memperlambat proses hukum sambil mencari terobosan lain, termasuk sengaja tidak hadir saat dipanggil untuk diperiksa penyidik.

Perkara ini tidak melibatkan aku seorang diri. Seluruh keluarga, istri dan anak-anak, juga diperiksa karena diduga teraliri dana dalam bentuk kepemilikan saham perusahaan. Si alan, seorang teman anggota parlemen yang menjadi terdakwa “menyanyi” saat di persidangan, termasuk mengungkap liku-liku pemenangan tender yang telah kami skenariokan untuk perusahaan keluarga. Pengakuan itu bahkan telah masuk dalam berita acara peme riksaan alias BAP. Jumlah kerugian uang negara juga telah disebut.

Ketika beberapa kali disidik oleh pihak kepolisian, aku dapat bocoran bahwa statusku yang semula saksi sudah ditingkatkan menjadi tersangka. Ada yang mengatur agar statusku tidak bocor ke publik. Pada saat itulah aku dengan cepat melarikan diri keluar negeri. Tentu saja dengan beberapa skenario yang sudah kupersiapkan sejak kasusku mulai diungkap. Semua keluarga sudah diskenario agar satu suara, bila perlu bungkam.

Nanti, ketika berkas perkaraku dilimpahkan ke kejaksaan untuk dibuat tuntutan, aku dapat informasi bahwa statusku sebagai tersangka mau tak mau akan terbuka di kejaksaan. Pun sudah ada yang memberi tahu bahwa kejaksaan akan meminta pihak imigrasi untuk mencekal aku pergi ke luar negeri. Dan benar, ketika berita ramai tersiar bahwa aku dicekal, posisiku sudah di luar negeri. Inilah enaknya punya jaringan khusus di lembaga peradilan. Aku merasa sedikit beruntung kasusku ditangani mereka. Andai yang menangani KPK, mungkin aku sudah meringkuk di sel.

Bagiku, pergi melakukan ibadah ke Tanah Suci jauh lebih baik daripada pura-pura sakit ketika diproses secara hukum. Aku toh berdoa sungguh-sungguh. Berita-berita dari tanah air menyatakan bahwa aku buron sehingga beberapa lembaga antikorupsi ikut menempel posterku di tempat-tempat umum. Tapi biarlah orang lain mau bilang apa. Setiap orang punya cara sendiri-sendiri. Termasuk minta diselimuti dan diinfus di rumah sakit kayak orang mau mati. Pura-pura kecelakaan nabrak tiang listrik juga biarlah. Pura-pura mencret akut saat sidang juga ada.

Pengacara yang kusewa dengan harga mahal pasti sudah memberi penjelasan panjang lebar sesuai permintaanku, termasuk mengajukan praperadilan. Ibarat pesta biskuit, dia telah kutaburi remah-remahnya yang tersisa di kaleng. Sambil menikmati rontokan biskuit dia bicara tak henti-henti membelaku, seperti anjing yang sangat setia melindungi tuannya.

Kembali aku melihat-lihat ke sekitar. Arsitektur bandara ini membuatku serasa bernaung di bawah pohon kurma raksasa. Pilar tunggal yang besar berada di tengah dari lantai satu hingga lantai dua. Ujung pilar itu mekar menyerupai daun-daun kurma dan sekaligus membentuk langit-langit secara melingkar dengan motif ornamen segi enam. Stan-stan penjual makanan ringan, minuman, dan sovenir juga ditata melingkar. Di bawah pilar dipajang dagangan sebangsa parfum, alat kecantikan, jam tangan, serta perhiasan dengan harga mahal.

Pada kutipan tersebut sudah diilustrasikan bahwa permasalahan timbul secara implisit, disebabkan oleh tokoh itu sendiri dengan penyampaian yang halus dan bertujuan untuk membela diri. Ketika ditinjau dari aspek relativisme kebenaran, maka kebenaran yang diilustrasikan sudah jelas menurutnya adalah benar. Dengan berbagai faktor yang disebutkan, “Bagiku, pergi melakukan ibadah ke Tanah Suci jauh lebih baik daripada pura-pura sakit ketika diproses secara hukum.” Menjadi kebenaran berdasarkan presepsi terdesak dengan berbagai kemungkinan agar bisa mengulur waktu selama mungkin. Dengan demikian kebenaran baginya adalah relatif, karena masih ada faktor lain yang disebutkan dalam mengambil keputusan.

Adapun dalam cerpen yang berjudul “ Bambi Dan Perempuan Berselendang Baby Blue” memiliki kesamaan dalam persoalan yang akan dikaji, yakni mengenai relativisme kebenaran. Sebagaimana diilustrasikan bahwa Bambi adalah hakim yang disuap Anik agar memenangkan dalam sidang perkara perdata yang diajukan oleh Anik dengan dorongan dari Bambi. Dengan demikian akan diperkuat melalui kutipan sebagai berikut:

“Aku ingin bicara,” kata saya di mulut toilet.

“Bicara apa?” Bambi mengarahkan pandangan ke muka saya.

“Putusanmu. Mengapa aku kau kalahkan?”

“Aku sudah mengusahakan agar kau yang menang di pengadilan, tapi tak ada dissenting opinion.”

“Bagaimana ada, wong hakim tunggal, cuma kamu saja!”

“Sudah saya mintakan pendapat di luar sidang.”

“Yang mimpin sidang kan kamu. Dengan hakim tunggal mestinya kau bisa putuskan sesuai janjimu!”

Bambi tampak sangat tidak nyaman. Wajahnya memerah, dia lihat ke segala arah. Sengaja saya menghadang langkahnya agar tidak menghindar. Saya pun sengaja mengeraskan suara agar didengar banyak orang.

“Pengacara tergugat pintar. Dia bisa menggugurkan tuntutan jaksa.”

“Tapi mengapa dulu kamu mendorong-dorong aku agar menggugat perkara itu. Kamu panas-panasi aku. kamu menjanjikan akan memenangkan aku. Terus untuk apa kamu minta uang segitu banyak yang katany auntuk minta tolong pada anggota majelis lainnya? Kau bagikan pada siapa saja uang itu? Atau kau nikmati sendiri?”

“Jangan bicara seperti itu. Kamu bisa dikenakan pasa perbuatan tidak menyenangkan dan mencemarkan nama baik.”

“Aku tidak bodoh. Saat penyerahan uang itu di rumah, aku sudah pasang CCTV agar bisa merekam semuanya. Sudah telanjur basah.”

Bambi sontak terperangan lagi, wajahnya warna bunga waribang. Dia berusaha lepas dari blockade. Saya menghalanginya dengan merentangkan tangan.

“Kamu bisa banding kalau tidak puas,” katanya kemudian. 

“Itu rusan nanti!”

“Masih ada waktu tiga hari,” Bambi mengacungkan jarinya.

“Di pengadilan tinggi yang ngurusi sudah beda. Omongnya saja bisa memenangkan kasus. Mana buktinya? Gombal!”

(…)

Barangkali saja banyak yang simpat mendengar kasus saya.  Begitu membuka pintu toilet, Devi sudah menunggu saya di ruang khusus wanita itu. Ternyata Devira tahu sepak terjang Bambi. Mereka meman tinggal di kawasan yang sama. Bambi ternyata suka membakar-bakar orang agar berperkara di pengadilan, terutama yang terkait perkara perdata. Mereka yang posisinya kuat dan dinilai akan menang didekati oleh Bambi, dirayu dan dimenangkan di pengadilan. Tentu saja, kata Devira, tidak ada yang gratis. Yang dimintai uang itulah yang dimenangkan.

Dari kutipan di atas tertera bahwa Bambi mengambil keputusan yang benar baginya meskipun itu merugikan orang lain. Di satu sisi, Anik juga menyalakan keputusan yang diambil oleh Bambi karena ia sudah berjanji akan memenangkan sidang tersebut. Ketika ditinjau dari segi relativisme kebenaran, Bambi melakukan ha yang benar menurutnya, sehingga ia melepaskan janji yang sudah dibuat dengan Anik. Presepsi Anik, keputusan yang diambil Bambi salah karena tidak memenangkan sidang perdata itu untuknya. Dengan begitu setiap keputusan memiliki kebenarannya masing-masing, dengan memertimbangkan risiko yang akan diambil. Dengan demikian tidak ada kebenaran yang mutlak.

Selanjutnya cerpen yang berjudul “Sepatu Jinjit Aryanti” memuat cerita yang ekstrem dengan dahli kesenangan dan kebahagiaan Aryanti menjadi orang yang menjatuhkan lelakinya sendiri dengan berbagai pertimbangan pribadi, dan paksaan dari kelompok yang mengharuskan Aryanti berbuat seperti itu. Diperkuat oleh kutipan sebagai berikut:

’Kau telah melakukannya. Jangan kau jilat kembali,’’ kataku.

Aryanti terdiam beberapa lama. Dia makin fokus menatapku. Ada kekuatan di matanya kali ini. Perempuan itu mendekat.

’’Tak akan saya jilat lagi karena sudah tak mungkin. Tapi apakah tidak boleh saya mengingatnya?’’

’’Kau tak memiliki banyak kata untuk itu,’’ aku menyambungnya. ’’Hanya ada satu yang aku ingat akan kata-katamu.’’

’’Apa itu, Bapak?’’ Kali ini Aryanti membalasnya dengan cepat.

’’Harus tega walau sangat berat.”

’’Ya, karena saya tak diberi pilihan lain.” Kutatap wajah Aryanti yang tiba-tiba ada aura berbeda. Beberapa jurus dia terdiam. Mungkin mengingat detik-detik terakhir ketika dia diperintahkan, tepatnya dipaksa, untuk menjebak lelaki yang telah banyak memberinya kesenangan dan keuntungan. Lelaki berumur itu telah menjadi sasaran karena dia mengetahui banyak borok yang dilakukan para pembesar. Kalau lelaki ini bisa diberesi, maka ada pihak-pihak lain dalam lingkarannya yang bisa di kambing hitamkan sesuai skenario yang dibuat. Dengan demikian borok itu tak jadi diusut. Ibarat pewayangan, ketika Durna dan Sengkuni bersekongkol, maka jadilah semua itu.


Aku adalah bagian dari persekongkolan itu. Tapi aku dalam posisi tak berdaya karena perintah atasan yang tak boleh ditolak. Aku tetaplah seorang manusia yang mempunyai pikiran dan rasa yang waras. Aryanti tentu juga demikian. Dia dalam posisi tak berdaya. Memang aku dan Aryanti adalah bagian dari pelaku persekongkolan itu.

Tapi, dan inilah sebenarnya, kami berdua tidak lain adalah objek. Apa yang kami lakukan bukanlah untuk kepentingan kami sendiri. Yang lebih menderita tentu Aryanti karena tak boleh berkomunikasi dengan keluarga dan teman-temannya. Jalur komunikasinya telah disadap dengan sempurna. Dalam tubuhnya seperti telah ditanami microchip sehingga pergerakannya bisa dipantau melalui layar monitor.

Ketika terjadi kematian orang yang sangat dekat dengannya, Aryanti tentu terpukul. Lalu rasa sedihnya yang timbul-tenggelam sebagai manusia normal adalah manusiawi. Barangkali, apa pun yang terjadi, hidup harus tetap punya harapan. Ketika dia berangsur mengembalikan keceriaannya juga dapat aku terima karena yang sudah tiada tak mungkin dihidupkan kembali. Dalam kondisi demikian lambat laun dalam diriku ada rasa ingin memeluk Aryanti dengan segala rasa.


Dengan segala pertimbangan Aryanti melakukan hal tersebut, paksaan kelompok yang mengharuskan ia berbuat sejahat itu. Dengan bantuan tokoh Aku/Bapak yang menjadi tameng Aryanti untuk saat ini, masih ada kemungkinan dalam pengambilan tindakan yang diatur oeh kelompok. Ketika ditinjau dari relativisme kebenaran tidak ada yang mutlak, Aryanti tentu tidak ingin melakukan hal tersebut dan bagi kelompok ketika Aryanti melakukan hal itu adalah kebenaran bagi kelompok. Karena ada pihak yang diuntungkan, dengan keterpaksaan Aryanti harus mengikuti kebenaran tersebut. Meskipun dalam presepsi Aryanti kebenaran tersebut adalah salah.

Cerpen terakhir yaitu berjudul “Jangan Ke Istana, Anakku” merupakan ilustrasi yang tragis, dikarenakan anaknya bernama Dewi masih nekat untuk pergi ke Istana dengan anggapan ia menyaksikan kehidupan seperti dongeng. Diperkuat dalam kutipan sebagai berikut:

“Papa, antarkan aku ke istana.”


“Jangan sekarang, Dewi…”

“Terus kapan?”

“Sabarlah…”

“Aku pingin segera ketemu mama,” putriku makin merajuk. Kakinya yang mengenakan sepatu biru berpita jingga disentak-sentakkan ke tanah. Terasa makin menusuk di dadaku.

Aku tak bisa menyalahkan anakku kalau dia ingin bertemu ibunya. Sejak umur dua tahun dia dipisahkan dengan ibunya oleh pihak istana. Ceritanya demikian. Suatu hari, mungkin karena rindu yang tak tertahankan istriku nekat menerobos istana untuk menemuiku. Tentu saja dia ditangkap sebelum anjing-anjing menghajarnya. Ada penjaga yang memberitahukan hal itu padaku. Katanya, waktu dihadapkan ke baginda, sang baginda tertarik dengan istriku karena kecantikannya. Istriku katanya mau dijadikan penari istana. Tentu saja aku patut curiga, baginda telah memperlakukan istriku sesuai hasrat dan nafsunya. Istriku tak berdaya. Aku juga tak pernah dipertemukan dengannya. Dan hingga kini dia tak pernah kembali.

(…)

Anakku benar-benar hidup sendirian setelah ibunya diganyang istana. Dia akhirnya diasuh keponakan kami, dibawa ke tempat yang jauh, di luar wilayah kekuasaan istana. Anakku disekolahkan dan hidup dalam keluarga berada. Kulitnya putih bersih. Suka pakai celana pendek. Dia cerdas dan lincah, pintar menulis kisah-kisah. Gaya hidupnya sangat berbeda dengan kami saat di desa. Ke mana-mana dia membawa alat di genggamannya, untuk berhubungan dan saling sapa dengan teman-temannya di jauh sana. Anakku memanggilku “papa” dan memanggil ibunya “mama”. Aku bersyukur bahwa keponakan kami tetap menunjukkan bahwa aku dan istriku adalah orangtuanya sebenarnya. Keponakan kami juga mengatakan pada anakku bahwa aku dan istriku bekera di istana. Mungkin anakku bangga tapi aku merasakan perih di dada.

Dan, sekarang ini, aku baru dapat menemui anakku, setelah lima belas tahun aku dalam cengkeraman istana. Wajah dan rambutnya mirip ibunya. Kupeluk dia dan tak ingin dipisah. Tapi ini bukan kebebasan selamanya. Orang-orang suruhan istana selalu mengintai gerak langkahku. Aku dimata-matai karena dikhawatirkan bersekongkol dan membocorkan rahasia. Dua atau tiga hari ke depan pihak istana akan menjemputku kembali.

“Saya pingin ikut Papa dan mama ke istana,” kata anakku lagi.

“Papa dan mama kerja, Dewi.”

“Gimana sih rasanya kayak putri istana dalam dongeng Cinderella.”

Aku ingin membangunkan gubuk untukmu, Anakku. Bukan istana, biar sehabis sekolah anak-anakmu kelak bisa merasakan indahnya dunia, hujan-hujan sambil bermain lumpur di tanah basah dengan teman-teman seusia. Berteriaklah sebatas mereka suka, nadanya akan menggema makin indah. Dan ketika matahari akan membenam, tampak langit dengan gumpalan mega merah muda. Mandilah di sumur dengan timba, mengerojok seluruh tubuh dengan air tanah. Di surau mereka mengaji mengeja alif ba ta, bermain umpet-umpetan sambil menanti salat isya.

Kutipan tersebut sudah menggambarkan bahwa presepsi anak dan orang tua berbeda. Papa tidak ingin anaknya pergi ke Istana lantaran dia sudah mengetahui bagaiamana kehidupan di dalam istana, sedangkan Dewi masih teguh pendiriannya ingin memasuki istana dengan angan-angan bahwa istana adalah tempat yang indah dengan segala khayalan yang ada di pikiran Dewi. Ketika ditinjau dari segi relativisme kebenaran, bahwa kebenaran adalah milik masing-masing. Dari sudut pandang manapun tetap manusia memiliki prespektifnya masing-masing, sehingga memunculkan pertentangan bahwa kebenaranku harus kau akui. Dengan demikian, kebenaran tidak ada yang mutlak dengan pertimbangan dari manapun.

Sejalan dengan pandangan kaum relativisme bahwa kebenaran dipandang sebagai sesuatu yang tidak mutlak. Karena kebenaran dipandang secara relative, apa yang dipandang sebagai kebenaran olh orang lain belum tentu berlaku juga pada orang lain. Dari kelima cerpen tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa kebenaran pada masing-masing tokoh berbeda dan relevan dengan asumsi kebenaran pada kaum relativisme. Maka makna yang dapat diambil bahwa setiap pandangan selalu bersifat subyektif maka apa yang dihasilkan akan berbeda.

Daftar Pustaka


Eagleton, Terry. 2010. Teori Sastra Sebuah Pengantar Komprehensif. Yogyakarta. Jalasutra dan Anggota IKAPI.

Nurgiyantoro, Burhan. 2013. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta. Gajah Mada University Press.

Shomali, Mohammad A. 2011. Relativisme Etika. Jakarta: Shadra Press.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi karya Widji Thukul

Makna ketidakadilan CERPEN "Sulastri dan Empat lelaki" karya M. Shoim Anwar

Mengupas Tentang Video Lagu "Mama Papa Larang" Karya Judika